Kata Kunci: Sampah, TPA,
Penataan Ruang
Perkembangan
suatu kawasan diera globalisasi ini semakin pesat baik dari segi ekonomi,
politik, sosial dan budaya bahkan dalam hal pertahanan keaman.
Perkembangan-perkembangan ini menyisakan berbagai permasalahan. Sampah sebagai
salah satu dampak dari perkembangan era globalisasi menyisakan berbagai macam
persoalan dalam hal pengelolaanya. TPA sbagaii jalan utama penyelesaian dan
pusat pengolahan sampah harus dibuat seefisien mungkindengan memperhatikan tiga
aspek penting yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut.
Disusun berdasarkan tiga tahapan yaitu tahap regional, merupakan tahapan untuk
menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang
terbagi menjadi beberapa zona kelayakan; kedua, tahap penyisih yang merupakan
tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa
lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional; ketiga tahap
penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih olehInstansi yang
berwenang. Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional,
pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA
sampah ini dengan criteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga
bagian. Disamping itu penempatan dan pembuatan TPA juga harus memperhatikan
aspek demografi penduduk sekitar, dan ekologi lingkungan yang ada di
sekitarnya, sehingga berbagai dampak dapat dikurangi.
Dampak
dari era globalisasi membawa efek yang sangat signifikan, membuat dunia seakan
tanpa batas. Hal ini membuat keterkaitan antar negara, antar tempat/wilayah,
atau antar bangsa menjadi semakin erat dalam kerjasama. Seiring dengan
berkembangnya era globalisasi tersebut kita dapat melihat perkembangan
kota-kota di Indonesia yang tidak terlepas dari perkembangan global, jumlah
kota besar semakin banyak dan wilayah kota semakin melebar sehingga mendesak
daerah-daerah pinggiran kota. Efek tersebut seiring berjalannya waktu akan
mendesak kota-kota besar umtuk berubah menjadi kota-kota metropolitan.
Kawasan
metropolitan merupakan perwujudan dari perkembangan suatu permukiman yang
berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan
luas wilayah suatu pekotaan menjadi sangat besar dengan permasalahan yang
berbeda-beda dan sangat spesifik. Oeh karena itu untuk memecahkan suatu permasalahan
yang dialami suatu perkotaan harus diselesaikan sendiri-sendiri dengan melihat
ketrsediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan lingkunganya.
Hal
tersebut menuntut suatu kota untuk berfikir bagaiman cara menghadapi suatu
masalah yang ada di wilayahnya. Yaitu bagaimana menyediakan lapangan pekerjaan
yang memadai, bagaimana menyediakan kawasan pemukiman yang baik, bagaimana
menjaga kelestarian alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Masalah-masalah
yang ada di Kota-kota Indonesia sebenarnya bukan hanya masalah parsial semata,
namun masalah-masalah itu merupakan bagian dari masalah-masalah Negara.
Indonesia dengan jumla penduduk 215 juta jiwa telah mencapai pertumbuhan
ekonomi yang mantap sejah akhir tahun 1990. Rata-rata pendapatan perkapita mencapai
Rp. 7.260.000 pada tahun 2003 (Statistik PU, 2005). Akan tetapi jumlah
tersebut, baik pendapatan perkapita ataupun persebaran penduduk tidaklah
merata. Sebagian besar terpusat di pulau
jawa terutama pada kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Untuk
mencapai pemantapan perkembangan sosial ekonomi secara keseluruhan, pemerintah
telah menetapkan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No.24/1992 dimana pengertian
penataan ruang mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang (Dijen
Ruang PU, 2008). Pemanfaatan ruang merupakan wujud dari proses penyusunan
Rencana Tata Ruang (RTR) sedangkan pengendalian mencakup proses pengawasan,
serta penertiban dari penggunaan ruang. Setiap unsur perencanaan, pemgendalian
dan pemanfaatan ruang itu akan membentuk suatu karakteristik penataan ruang
yang sangat erat kaitanya dengan sistem politik, social, ekonomi, budaya, dan
lingkungan bahkan mencakup pertahanan keamanan pada wilayah tersebut. Oleh
karenanya penataan ruang menggunakan pendekatan yang kompleks dengan
berlandaskan pada empat prinsip utama penataan ruang yaitu holistic dan
terpadu, keseimbangan fungsi antar kawasan, keterpaduan penanganan secara
lintas sektor dan lintas wilayah administratif dan pelibatan peran serta
masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan
ruang.
Sejalan
dengan perkembangannya baik tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan penduduk
dengan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan
yangcukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980),
meningkat menjadi55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998),
menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150
juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan
penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995) (Dardak, 2007). Dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus
meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada meningkatnya
tekanan pada pemanfaatan ruang kota seperti pembangunan prasarana dan sarana di
Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan, sehingga penataan ruang kawasan
perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus dan diberikan perhatian yang
lebih besar terhadap perlindungan lingkungannya. Karena polusi air dan udara
semakin bertambah dengan meningkatnya volume limbah cair domestik dan limbah
padat demikian pula kemacetan lalu lintas maka tindakan perlindungan lingkungan
sangat dibutuhkan, misalnya dengan mendorong penerapan zoning regulation,
penerapan mekanisme insentif dan disinsentif, prinsip-prinsip smart growth
atau growth management, dan sebagainya.
PELESTARIAN
LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
Pelestarian
lingkungan yang merupakan perhatian dari perencanaan tata ruang, bertujuan untuk
mendorong secara sistematis kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, misalnya
dengan penerapan 3R (reduction-reuse-recycling) dari limbah padat dan
pengelolaan lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan
masyarakat berorientasi siklus di kawasan perkotaan dan Kota-kota besar serta
Kawasan Metropolitan. Dalam hal ini pendekatan partisipatoris menjadi salah
satu pilihan pendekatan, demikian pula untuk perlindungan lingkungan. Tanpa
pengelolaan lingkungan yang sesuai, Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan
dapat terjerumus menjadi wilayah yang tidak sehat dan tidak nyaman untuk dihuni
serta berpotensi memunculkan perkembangan kota yang semrawut dan tidak terarah
yang dibeberapa kota sudah terjadi, isu lainnya adalah menyangkut perkembangan
kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi antara kota inti
dengan kotakota sekitarnya.
Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut
menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan,
pelayanan prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan
pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan aktual dalam
pembangunan Kota dan Metropolitan, maka prinsip-prinsip penataan ruang tidak
dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini, upaya pengendalian pembangunan dan
berbagai dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan
lintas wilayah melalui instrumen penataan ruang. Melalui instrumen ini pula,
maka daya dukung lingkungan dari suatu wilayah menjadi pertimbangan yang sangat
penting.
Kekurangan
dalam pembuangan limbah padat telah menjadi salah satu persoalan serius di
kawasan perkotaan, kota-kota kecil, sedang dan besar serta di Metropolitan,
yang harus ditangani secara terpadu untuk mengembalikan kawasan tersebut
menjadi bersih. Persoalan sampah yang sering ditemui di jalan-jalan, selokan
dan kanal drainase serta lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sulit
ditentukan merupakan tantangan masalah dalam pelaksanaan konsep menjaga
kelestarian lingkungan agar seimbang dan selaras.
Tempat
Pembuangan Akhir sampah pada dasarnya merupakan akhir dari proses penanganan
sampah yang aman dan ramah lingkungan. Namun adanya keterbatasan biaya dan
kapasitas SDM serta andalan pola kumpul-angkut-buang yang ada selama ini, telah
berdampak pada pembebanan yang terlalu berat di TPA baik ditinjau dari
kebutuhan lahan maupun beban pencemaran lingkungan.
Permasalahan
TPA sampah yang akhir-akhir ini telah mengemuka secara nasional antara lain
kasus longsornya TPA Leuwigajah yang menelan korban jiwa lebih dari 140 orang
(kompas….), friksi TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPST Bojong menunjukkan tingkat
keterpurukan masalah penanganan sampah. Tanpa adanya komitmen dan upaya yang
sungguh-sungguh dari para pelaksana pembangunan bidang persampahan, kondisi
demikian dikhawatirkan hanya akan menuai bencana demi bencana.
Persoalan TPA sampah pada dewasa ini
terletak pada masalah pengelolaannya, untuk mendorong pengelolaan TPA sampah
secara baik misalnya melalui sistem sanitary landfill dapat dilakukan dengan
kerjasama antara pemerintah daerah terkait dalam bentuk usaha bersama (badan
usaha bersama atau BUB).
PENENTUAN LOKASI
TPA
Penentuan
lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara
Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara
lain;
1.TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau,
sungai dan laut;
2.Disusun
berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan tahapan
untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut
yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang
merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara
beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional.
Ketiga, Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh
Instansi yang berwenang.
3.Dalam
hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA
Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan
criteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian ;
A. Kriteria
regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak
atau tidak layak sebagai berikut ;
1) Kondisi
geologi
a.tidak berlokasi di zona holocene fault
b.tidak boleh di zona bahaya geologi
2) Kondisi
hidrogeologi
a.tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang
dari 3 meter
b.tidak boleh kelulusan tanah lebih besar
dari 10-6 cm/det
c.jarak terhadap sumber air minum harus lebih
besar dari 100 meter di hilir aliran
d.dalam
hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus
diadakan masukan teknologi
3) Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
4) Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar
dari 3.000 meter untuk
penerbangan turbo jet dan harus lebih besar
dari 1.500 meter untuk jenis lain.
5)Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode
ulang 25 tahun
B. Kriteria penyisih yaitu kriteria
yang digunakan untuk memilih lokasi TPA terbaik yaitu teridiri
dari kriteria
regional ditambah dengan kriteria berikut ;
1) iklim
a.hujan
: intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
b.angin
: arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik
2) utilitas
: tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
3) lingkungan
biologis
a.habitat : kurang bervariasi dinilai makin
baik
b.daya dukung : kurang menunjang kehidupan
flora dan fauna, dinilai makin baik
4) ketersediaan
tanah
a.produktifitas tanah : tidak produktif
dinilai lebih tinggi
b.kapasitas dan umur : dapat menampung lahan
lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik
c.ketersediaan tanah penutup : mempunyai
tanah penutup yang cukup, dinilai
lebih baik
d.status tanah : makin bervariasi
dinilai tidak baik.
5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah
dinilai makin baik
6) Batas administrasi : dalam batas
administrasi dinilai semakin baik
7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga
dinilai semakin baik
8) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai
semakin baik
9) Estetika : semakin tidak terlihat dari luar
dinilai semakin baik
10)Ekonomi :
semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton) dinilai semakin
baik
C.Produk yang dihasilkan
Produk
yang dihasilkan sebagai berikut :
1)Tahap
regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :
a.centroid sampah
yang terletak di wilayah tersebut
b.kondisi
hidrogeologi
c.badan-badan air
d.TPA sampah yang
sudah ada
e.Pembagian zona-zona
zona
1 = zona tidak layak
zona
2 = zona layak untuk TPA sampah kota
2)Tahap penyisih yaitu rekomendasi
lokasi TPA sampah kota dilengkapi :
a.peta posisi calon-calon lokasi yang
potensial
b.peta detail dengan skala 1 : 25.000
dari sedikitnya 2 lokasi yang terbaik
3)Tahap
penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPA sampah kota
Pemilihan
lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :
1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan
arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area).
2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah
perkotaan yang didorong pengembangannya (Urban Promotion Area)
3.
Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak
melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat.
4.
Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA
sampah perkotaan perlu memperhatikan halhal sebagai berikut :
1.Rencana pengembangan kota dan daerah, tata
guna lahan serta rencana pemanfaatan
lahan
bekas TPA.
2.Kemampuan
ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan teknologi
sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.
3.Kondisi
fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya,
pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan
akhir sampah.
4.Rencana
pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana jalan masuk TPA.
5.Rencana
TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya
longsor.
6.Tersedianya
biaya operasi dan pemeliharaan TPA.
7.Sampah
yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat
mungkin dengan sumbernya.
8.Sampah
yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan berasal
dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.
9.Kota-kota
yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model TPA
regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.
10.Aksesibilitas
jalan menuju TPA sampah harus tersedia guna memudahkan kendaraan pengangkut
membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang relatifcukup
luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPA sampah misalnya Buffer zone
untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan
ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20m sampai dengan 50m
dari batas luar daerah operasional TPA yang didukung dengan penanaman jenis
pohon yang cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4m, dan tidak mudah patah
akibat pengaruh angin misalnya sengon, mahoni, tanjung dan lain-lain dengan
kerapatan/jarak antar pohon 2m. Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang
merupakan zona bebas dimana kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga
harus merupakan Ruang Terbuka Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan
merupakan tanaman pangan, dengan ketebalan 50 sampai dengan 80m dari batas luar
buffer zone, sehinggaTPA sampah dapat difungsikan secara terpadu dengan
pengelolaannya, sistem pengolahan limbah organik dan non organik dilakukan
secara terpisah agar setiap dampak/implikasi limbah dapat disortir sesuai
dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah yang mengandung B3
(Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya, pengolahan limbah juga
harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air buangan dari limbah
organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur ulang sehingga
perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai dengan
sifat dan jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal
dari limbah organik dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan
pendekatan yang perlu pula menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah,
karena dapat memberikan nilai tambah baik secara ekologis, psikologis dan
ekonomis.
Untuk
menjaga ketersediaan air minum TPA sampah wajib dilengkapi dengan zona
penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill
untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota
kecil dan sedang. Selain itu perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil
pengolahan leachate secara berkala. Perhatian terhadap kelestarian lingkungan
melalui penanganan dan pengelolaan TPA sampah yang baik menjadi hal penting,
TPA sampah yang didesain sesuai dengan ketentuan dapat difungsikan pula menjadi
kawasan hijau sehingga sejalan dengan kebijakan penataan ruang yang menerapkan
ketentuan bahwa setiap wilayah/kawasan menyediakan RTH minimal sebesar 30 %
dari luas wilayah/kawasan tersebut. RTH yang tersedia bukan hanya mengandung
nilai-nilai estetika tetapi juga mengandung nilai psikologis bagi masyarakat.
Dapat dibayangkan apabila setiap kawasan permukiman, perkotaan dan kota-kota
besar bahkan Metropolitan tidak terdapat ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk
taman bermain, kesegaran udara, dan keindahan lingkungan bagi masyarakat maka
yang terjadi adalah lingkungan permukiman kumuh, sensitivitas masyarakat sangat
tinggi, polusi udara yang berpengaruh pada psikologis dan lingkungan yang tidak
asri karena tidak adanya penghijauan.
PENUTUP
Menangani
masalah sampah bukanlah masalah persoalan individual tetapi merupakan persoalan
yang kompleks. Untuk mengatasinya diperlukan kerjasama dari banyak pihak.
Perrancanaan wilayah bukanlah merupakan enyelesaiam dari masalah persampahan
tetapi hanya merupakan salah satu jalan untuk mengatasinya. Oleg karena itu
untuk menagani masalah persampahan dalam segi perencanaan salah satu caranya
adalah dengan membuat Tempst Pembuangan Akhir
(TPA) yang di bangun dengan merujuk pada kriteria yang telah di buat
pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar