Jumat, 25 Januari 2013

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DARI SEGI TATA RUANG

                 Kata Kunci: Sampah, TPA, Penataan Ruang
               Perkembangan suatu kawasan diera globalisasi ini semakin pesat baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya bahkan dalam hal pertahanan keaman. Perkembangan-perkembangan ini menyisakan berbagai permasalahan. Sampah sebagai salah satu dampak dari perkembangan era globalisasi menyisakan berbagai macam persoalan dalam hal pengelolaanya. TPA sbagaii jalan utama penyelesaian dan pusat pengolahan sampah harus dibuat seefisien mungkindengan memperhatikan tiga aspek penting yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. Disusun berdasarkan tiga tahapan yaitu tahap regional, merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan; kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional; ketiga tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih olehInstansi yang berwenang. Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan criteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Disamping itu penempatan dan pembuatan TPA juga harus memperhatikan aspek demografi penduduk sekitar, dan ekologi lingkungan yang ada di sekitarnya, sehingga berbagai dampak dapat dikurangi.
           
            Dampak dari era globalisasi membawa efek yang sangat signifikan, membuat dunia seakan tanpa batas. Hal ini membuat keterkaitan antar negara, antar tempat/wilayah, atau antar bangsa menjadi semakin erat dalam kerjasama. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi tersebut kita dapat melihat perkembangan kota-kota di Indonesia yang tidak terlepas dari perkembangan global, jumlah kota besar semakin banyak dan wilayah kota semakin melebar sehingga mendesak daerah-daerah pinggiran kota. Efek tersebut seiring berjalannya waktu akan mendesak kota-kota besar umtuk berubah menjadi kota-kota metropolitan.
            Kawasan metropolitan merupakan perwujudan dari perkembangan suatu permukiman yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah suatu pekotaan menjadi sangat besar dengan permasalahan yang berbeda-beda dan sangat spesifik. Oeh karena itu untuk memecahkan suatu permasalahan yang dialami suatu perkotaan harus diselesaikan sendiri-sendiri dengan melihat ketrsediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan lingkunganya.
            Hal tersebut menuntut suatu kota untuk berfikir bagaiman cara menghadapi suatu masalah yang ada di wilayahnya. Yaitu bagaimana menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, bagaimana menyediakan kawasan pemukiman yang baik, bagaimana menjaga kelestarian alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.
            Masalah-masalah yang ada di Kota-kota Indonesia sebenarnya bukan hanya masalah parsial semata, namun masalah-masalah itu merupakan bagian dari masalah-masalah Negara. Indonesia dengan jumla penduduk 215 juta jiwa telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap sejah akhir tahun 1990. Rata-rata pendapatan perkapita mencapai Rp. 7.260.000 pada tahun 2003 (Statistik PU, 2005). Akan tetapi jumlah tersebut, baik pendapatan perkapita ataupun persebaran penduduk tidaklah merata. Sebagian besar terpusat di  pulau jawa terutama pada kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
            Untuk mencapai pemantapan perkembangan sosial ekonomi secara keseluruhan, pemerintah telah menetapkan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No.24/1992 dimana pengertian penataan ruang mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang (Dijen Ruang PU, 2008). Pemanfaatan ruang merupakan wujud dari proses penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) sedangkan pengendalian mencakup proses pengawasan, serta penertiban dari penggunaan ruang. Setiap unsur perencanaan, pemgendalian dan pemanfaatan ruang itu akan membentuk suatu karakteristik penataan ruang yang sangat erat kaitanya dengan sistem politik, social, ekonomi, budaya, dan lingkungan bahkan mencakup pertahanan keamanan pada wilayah tersebut. Oleh karenanya penataan ruang menggunakan pendekatan yang kompleks dengan berlandaskan pada empat prinsip utama penataan ruang yaitu holistic dan terpadu, keseimbangan fungsi antar kawasan, keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah administratif dan pelibatan peran serta masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang.
            Sejalan dengan perkembangannya baik tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan penduduk dengan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yangcukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995) (Dardak, 2007). Dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada meningkatnya tekanan pada pemanfaatan ruang kota seperti pembangunan prasarana dan sarana di Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus dan diberikan perhatian yang lebih besar terhadap perlindungan lingkungannya. Karena polusi air dan udara semakin bertambah dengan meningkatnya volume limbah cair domestik dan limbah padat demikian pula kemacetan lalu lintas maka tindakan perlindungan lingkungan sangat dibutuhkan, misalnya dengan mendorong penerapan zoning regulation, penerapan mekanisme insentif dan disinsentif, prinsip-prinsip smart growth atau growth management, dan sebagainya.
           

PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
            Pelestarian lingkungan yang merupakan perhatian dari perencanaan tata ruang, bertujuan untuk mendorong secara sistematis kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, misalnya dengan penerapan 3R (reduction-reuse-recycling) dari limbah padat dan pengelolaan lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat berorientasi siklus di kawasan perkotaan dan Kota-kota besar serta Kawasan Metropolitan. Dalam hal ini pendekatan partisipatoris menjadi salah satu pilihan pendekatan, demikian pula untuk perlindungan lingkungan. Tanpa pengelolaan lingkungan yang sesuai, Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan dapat terjerumus menjadi wilayah yang tidak sehat dan tidak nyaman untuk dihuni serta berpotensi memunculkan perkembangan kota yang semrawut dan tidak terarah yang dibeberapa kota sudah terjadi, isu lainnya adalah menyangkut perkembangan kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi antara kota inti dengan kotakota sekitarnya.
             Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan, pelayanan prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan aktual dalam pembangunan Kota dan Metropolitan, maka prinsip-prinsip penataan ruang tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini, upaya pengendalian pembangunan dan berbagai dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah melalui instrumen penataan ruang. Melalui instrumen ini pula, maka daya dukung lingkungan dari suatu wilayah menjadi pertimbangan yang sangat penting.
            Kekurangan dalam pembuangan limbah padat telah menjadi salah satu persoalan serius di kawasan perkotaan, kota-kota kecil, sedang dan besar serta di Metropolitan, yang harus ditangani secara terpadu untuk mengembalikan kawasan tersebut menjadi bersih. Persoalan sampah yang sering ditemui di jalan-jalan, selokan dan kanal drainase serta lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sulit ditentukan merupakan tantangan masalah dalam pelaksanaan konsep menjaga kelestarian lingkungan agar seimbang dan selaras.
            Tempat Pembuangan Akhir sampah pada dasarnya merupakan akhir dari proses penanganan sampah yang aman dan ramah lingkungan. Namun adanya keterbatasan biaya dan kapasitas SDM serta andalan pola kumpul-angkut-buang yang ada selama ini, telah berdampak pada pembebanan yang terlalu berat di TPA baik ditinjau dari kebutuhan lahan maupun beban pencemaran lingkungan.
            Permasalahan TPA sampah yang akhir-akhir ini telah mengemuka secara nasional antara lain kasus longsornya TPA Leuwigajah yang menelan korban jiwa lebih dari 140 orang (kompas….), friksi TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPST Bojong menunjukkan tingkat keterpurukan masalah penanganan sampah. Tanpa adanya komitmen dan upaya yang sungguh-sungguh dari para pelaksana pembangunan bidang persampahan, kondisi demikian dikhawatirkan hanya akan menuai bencana demi bencana.
            Persoalan TPA sampah pada dewasa ini terletak pada masalah pengelolaannya, untuk mendorong pengelolaan TPA sampah secara baik misalnya melalui sistem sanitary landfill dapat dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah terkait dalam bentuk usaha bersama (badan usaha bersama atau BUB).


PENENTUAN LOKASI TPA
            Penentuan lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara lain;
1.TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut;
2.Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.
3.Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan criteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian ;

 A. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona           layak atau tidak layak sebagai berikut ;
            1) Kondisi geologi
   a.tidak berlokasi di zona holocene fault
   b.tidak boleh di zona bahaya geologi
            2) Kondisi hidrogeologi
              a.tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
              b.tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det
              c.jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir           aliran
             d.dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas,           maka harus 
                diadakan masukan teknologi
           3) Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
          4) Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk
               penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis              lain.
          5)Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan                           periode
               ulang 25 tahun
     B. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi    TPA         terbaik yaitu teridiri 
         dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut ;
            1) iklim
                a.hujan : intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
                b.angin : arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik
            2) utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
            3) lingkungan biologis
               a.habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik
               b.daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin            baik
           4) ketersediaan tanah
               a.produktifitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi
               b.kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama       dinilai lebih baik
               c.ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup,                             dinilai 
                  lebih baik
               d.status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik.
            5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik
            6) Batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai semakin baik
            7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
            8) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
            9) Estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik
10)Ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton)            dinilai semakin 
     baik
        C.Produk yang dihasilkan
            Produk yang dihasilkan sebagai berikut :
            1)Tahap regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :
a.centroid sampah yang terletak di wilayah tersebut
b.kondisi hidrogeologi
c.badan-badan air
d.TPA sampah yang sudah ada
                e.Pembagian zona-zona
                    zona 1 = zona tidak layak
                    zona 2 = zona layak untuk TPA sampah kota
            2)Tahap penyisih yaitu rekomendasi lokasi TPA sampah kota dilengkapi :
           a.peta posisi calon-calon lokasi yang potensial
           b.peta detail dengan skala 1 : 25.000 dari sedikitnya 2 lokasi yang terbaik
            3)Tahap penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPA sampah kota
               Pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :
 1.    Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area).
 2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong pengembangannya (Urban Promotion Area)
3.      Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat.
4.      Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan halhal sebagai berikut :
1.Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta  rencana pemanfaatan lahan 
    bekas TPA.
2.Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.
3.Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya, pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan akhir sampah.
4.Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana jalan masuk TPA.
5.Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya longsor.
6.Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA.
7.Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat mungkin dengan sumbernya.
8.Sampah yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan berasal dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.
9.Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.
10.Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersedia guna memudahkan kendaraan pengangkut membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang relatifcukup luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPA sampah misalnya Buffer zone untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20m sampai dengan 50m dari batas luar daerah operasional TPA yang didukung dengan penanaman jenis pohon yang cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4m, dan tidak mudah patah akibat pengaruh angin misalnya sengon, mahoni, tanjung dan lain-lain dengan kerapatan/jarak antar pohon 2m. Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang merupakan zona bebas dimana kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang Terbuka Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan, dengan ketebalan 50 sampai dengan 80m dari batas luar buffer zone, sehinggaTPA sampah dapat difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan limbah organik dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi limbah dapat disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah yang mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya, pengolahan limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air buangan dari limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur ulang sehingga perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai dengan sifat dan jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari limbah organik dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan yang perlu pula menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan nilai tambah baik secara ekologis, psikologis dan ekonomis.


            Untuk menjaga ketersediaan air minum TPA sampah wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala. Perhatian terhadap kelestarian lingkungan melalui penanganan dan pengelolaan TPA sampah yang baik menjadi hal penting, TPA sampah yang didesain sesuai dengan ketentuan dapat difungsikan pula menjadi kawasan hijau sehingga sejalan dengan kebijakan penataan ruang yang menerapkan ketentuan bahwa setiap wilayah/kawasan menyediakan RTH minimal sebesar 30 % dari luas wilayah/kawasan tersebut. RTH yang tersedia bukan hanya mengandung nilai-nilai estetika tetapi juga mengandung nilai psikologis bagi masyarakat. Dapat dibayangkan apabila setiap kawasan permukiman, perkotaan dan kota-kota besar bahkan Metropolitan tidak terdapat ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk taman bermain, kesegaran udara, dan keindahan lingkungan bagi masyarakat maka yang terjadi adalah lingkungan permukiman kumuh, sensitivitas masyarakat sangat tinggi, polusi udara yang berpengaruh pada psikologis dan lingkungan yang tidak asri karena tidak adanya penghijauan.


PENUTUP
            Menangani masalah sampah bukanlah masalah persoalan individual tetapi merupakan persoalan yang kompleks. Untuk mengatasinya diperlukan kerjasama dari banyak pihak. Perrancanaan wilayah bukanlah merupakan enyelesaiam dari masalah persampahan tetapi hanya merupakan salah satu jalan untuk mengatasinya. Oleg karena itu untuk menagani masalah persampahan dalam segi perencanaan salah satu caranya adalah dengan membuat Tempst Pembuangan Akhir  (TPA) yang di bangun dengan merujuk pada kriteria yang telah di buat pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar