Kata kunci: Longsor, Lahan, kemiringan
Indonesia
adalah suatu negara kepulauan yang sebagian besar kawasanya terdiri dari
pulau-pulau yang berbukit-bulit dengan banyak gunung berapi. Sebagai dampak
dari bentuk kepulauan yang berbukit-bukit ini adalah memiliki banyak kawasan
yang rawan bencana longsor. Benyaknya penduduk indonesia yang tinggal di
kawasan lindung, pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik
kawasan, dan kurangnya penyebarluasan informasi kepada masyarakat mengenai
bencana longsor adalah bebrapa faktor penyeban timbulnya korban bencana
longsor. Untuk mengatasi masalah tersebut btentunya harus diadakan perarturan
mengenai kawasan permmukiman penduduk. Isi dari peraturan itu antara lain
adalah larangan intuk menempati daerah dengan kemoringan >40%, larangan
menempati kawasan yang bertanah labil, dan memwajibkan adanya ruang terbuka
hujau sebesar 40% dan penghijauan dikawasan lindumg.
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembngunan adalah
dicapai dan mewudkan ruangan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang
kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi
masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya
sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan
distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah
ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus menigkatkan daya saing.
Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik
dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatan. Keseluruhan ini diwujudkan guna
membentuk suatu tatanan masyarakat yang baikdan selaras dengan lingkungan.
Diatara berbagai permasalahan yang
sering terjadi akibat kurang serasi dengan lingkungan adalah adanya bencana
tanah longsor yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia. Bencana ini
telah banyak menelan kerugian baik kerugian korban jiwa, harta, dan juga
merusak sarana dan prasarana umum. Tingginya
frekuensi bencana longsor dan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari
bencana tersebut telah menyadarkan kita semua akan perlunya reposisi perilaku
manusia dalam mengelola lingkungan hidupnya. Upaya reposisi tersebut
selanjutnya diletakkan pada suatu kerangka pikir atau pendekatan yang memunginkan seluh fihak
untuk saling bersinergi dalam merevitalisasi ruang kehidupan agar dapat
mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Dardak, 2005).
PENYEBAB
TIMBULNYA BENCANA LONGSOR DI INDONESIA
Indonesia sebagai negara kepulauan
yang terdiri dari berbagai keadaan alam
dan berbagai permasalahan yang mendera di berbagai daerah. Salah satu bencana
yang biasa melanda Indonesia ialah bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor
biasa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu ialah:
1. Tingginya
laju alih fungsi lahan berfungsi lindung
Kerusakan kawasan hutan lindung menyisakan kawasan-kawasan hutan yang
secara fisik tidak lagi berwujud hutan, namun lebih sebagai lahan terlantar.
Perubahan itu juga dibarengi dengan perubhan hutan pertanian menjadi kawasan
permukiman, sehingga fenomena ini semakin berpotensi menimbulkan bencana. Tidak
hanya longsor namun juga bisa meimbulkan banjir di musim penghujan dan juga
kekeringan dimusim kemarau.
2. Pengembangan kegiatan yang tidak sesuai
dengan karakteristik kawasan
Pengembangan kawasan seharusnya dikembangkan sesuai dengan karakteristik
yang ada di lapangan. Kawasan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung seharusnya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai
kawasan yang steril dari pemanfaaatan ruang. Pada kawasan lindung masih
dimungkinkan dilakukan upaya pemanfaatan ruang, namun dengan kegiatan yang
sesuai dengan karateristik lingkungan. Sebagi contoh kawasan dengan kemiringan
diatas 40% masih dmunginkan untuk hutan pertanian, baik milik pemerintah
ataupun rakyat. Pada kenyataanya di kawasan-kawasan seperti ini malah digunakan
sebagai daerah pertanian holtikultura ataupun sebagai kawasan perumahan (Vila)
3. Pola
pengelolaan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan
Selain jenis kegiatan yang harus sesuai dengan karakteristik wawasan,
namun juga harus dibarengi dengan ppengelolaan kegiatan yang arus sesuai dengan
kaidah-kaidah lingkungan agar potensi bencana dapat diminimalkan.
4. Kurangnya
penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dibutuhkan data informasi yang
berkaitan dengan geomorfologi dan hidrologidaerah tersebut, serta akibat yang
mungkin timbul dari budaya yang ditimbulkan dari budidaya yang tidak berwawasan
lingkungan yang dilakukan masyarakat. Data dan informasi tersebut umumnya di
miliki oleh instansi-instasi pemerintah, lembaga penelitian maupun perguruan
tinggi. Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada penelitian dan perumusan
kebijakan. Sementara masyarakat sebagai pengelola lahan belum mendapatkan
informasi yang memadai mengenai bencana longsor yang mungkin melanda kawasanya.
Agar informasi tersebut sampai secara efektif dalam menimbulkan dan
meningkatkan pemahaman masyarakat perlu diadakan perubahan metode penyampaian
baik dengan bahsanya maupun dalam penerapanya.
KEBIJAKAN
BIDANG PENATAAN RUANG DALAM MENANGANI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
Penyusunan RTRW dipandang seagai
langkah awal untuk menciptakan suatu kawasan yang nyaman, produktif dan
berkelanjutan. Oleh sebab itu di dalam setiap rencana penataan ruang harus
selalu memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan.
Selain berfungsi sebagai arahan
lokasi insvestasi di wilayah, RTRWN juga berfunsi sebagai pedoman bagi
pemerintah daerah untuk mengatur wilayahnya. Dengan demikian kebijakan dan
strategi terkait degan pengelolaan kawasan rawan bencana longsor dan kawasan
lindung yang tertulis dalam RTRWN juga berlaku dalam konteks penataan ruang
daerah.
Diantara berbagai jenis kawasan
lindung juga terdapat kawasan rawan bencana geologi yang didalamnya termasuk
kawasan rawan bencana longsor.Kawasan rawan bencana geologi tersebut ditetapkan
dengan kriteria sebagai berikut:
- kawasan yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi;
- kawasan rawan bencana gunung api;
- kawasan rawan bencana gempa bumi dengan skala MMI VII-XII;
- zona patahan aktif;
- kawasan yang berbakat atau pernah mengalami tsunami;
- kawasan yang berbakat atau pernah mengalami abrasi;
- kawasan yang berbakat atau pernah mengalami aliran lahar dan/atau
- kawasan yang berbakat atau pernah mengalami gas beracun.
Prof. Dr. Azwar Maas mengemukakan
bahwa kondisi dan situasi lahan yang berpotensi rawan longsor baik secara
tunggal, kombinasi, maupun interaksi sebagai berikut:
- lahan kurang stabil dengan kemiringan lereng >40%;
- tingkat perkembangan tanah telah “lanjut” biasanya berstruktur halus, berwarna kuning kemerahan, tebal >2m yang menopang diatas batuan induk ;
- tanah yang menompang di atas batuan yang permukaan batuanya berlereng atau batuan induk yang padat;
- tanah yang pernah mengalami longsor sebelumnya sehingga struktur dan agregasi tanah rusak;
- tanah tereksploitasi berlebihan;
- tanah tererosi secara berat sehingga telah lapisan atas atau lapisan yang kaya bahan organik karena tanah yang berada dibawah lapisan kaya bahan organik biasanya mudah terdispersi;
- pengalihan tataguna lahan, penjarahan hutan, pertanian intensif, tanpa penutup tanah karena setelah penjarahan hutan dapat terbentuknya ruang-ruang dalam tanah akibat pembusukan sistim perakaran pohon yang menampung air dan menyebabkan tanah dalam keadaan lewat jenuh;
- tanah yang berkembang di atas sedimen marine/claystone, yang mempunyai potensi kembang dan kerut
Pada kawasan rawan bencana, pola
pengelolaan kawasan dilakukan melalui pengaturan kegiatan manusia di kawasan
rawan bencana alam untuk melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh
alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan tangan manusia. Tujuan dari
pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana longsor adalah mencegah
timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung
kawasan serta menghindari berbagai usaha dan atau kegiatan dikawasan rawan
bencana.
Selain kebijakan yang langsung
terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana, juga harus dibuat kebijakan
yang memuat mengenai pengelolaan kawasan lindung secara luas, yang mencegah
upaya pencegahan bencana longsor. Kebijakan tersebut adalah memelihara dan
mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah timbulnya
kerusakan lingunga hidup yang dijabarkan ke dalam strategi berikut;
- mempertahankan luas kawasan yang berfungsi lindung dalam suatu pulau sekurang-kurangnya 30% dari luas pulau yan ada;
- mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup melalui perlindungan kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara secara serasi dan selaras;
- mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan eosistem wilayah.
PENERAPAN
KEBIJAKAN TATARUANG DALAM PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
Untuk menangani kawasan yang bebas
longsor kita tidak bisa hanya mengajukan suatu teori saja. Kita juga harus
menerapkan berbagai kebijakan tersebut dengan metode-metodrnya. Metode
penerapan kebijakan di kawasan rawan longsor tidak hanya dalam kebijakan satu
tahap saja. Penerapanya dilakukan secara bertahap sesuai dengan
tingkaan-tingkatan yang ada sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan
Tata Ruang
Rencana tata ruang berisi
rencana struktur ruang dan rencana pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang
adalah arahan pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri
dari sistim pusat-pusat permukiman, sistim jaringan transportasi, sistim
telekomunikasi dan sistim-sistim yang lain. Adapun rencana pola pemanfaatan
ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang unruk berbagai kegiatan baik
peruntukan untuk fungsi lindung maupun peruntukan fungsi budaya. Rencana tata
ruang juga memiliki fungsi yang sangat fital dalam upaya pelestarian lingkungan
hidup. Oleh karena itu rencana tataruang juga harus memperhatikan aspek-aspek
lingkuangan, aspek fisik, social, dan yang laiya. Terkait dengan upaya
pencegahan longsor perencana tata ruang juga harus mempertimbangkan hal-hal
berikut:
a.
Unit analisis mencakup satu kesatuan eco-region
Pencapaian hasil pembangunan
di wilayah perencanaan akn sangat dipengaruhi oleh kinerja pencapaian hasil
pembangunan di wilayah lain yang memiliki keterkaitan. Sebaliknya inerja
pembangunan di suatu wilayah aan mempengaruhi pola pembangunan di wlayah yang lainya
pula. Pola hubungan antar wilayah tersebut tidak terbatas pada hasil-hasil
pembangunan, tetapi juga pada dampak negatif yang ditimbulkan.
Adanya hubungan saling
mempengaruhi tersebut harus diakomodasi dalam penyusunan rencana tata ruang,
yakni dengan memperbesar unit analisis yang tida terbatas pada wilayah
perencanaan, tetapi mencakup wilayah di sekitarnya dalam satu eco-region.
Dengan pendekatan ini, suatu kawasan dalam satu eco-region harus dipandang
sebagai suatu sistim interaksi yang komplementer antar ekosistem, tatanan
budaya, dan potensi SDA. Suatu wilaya ata kawasan tidak lagi dipandang dari
aspek structural ruang danpola pemanfaatanya, melainkan keterkaitan manusia dan
ruang dan sistim nilai penyangga kehidupan mereka.
b.
Perhitungan neraca lingkungan sebagai dasar alokasi pemanfaatan
sumberdaya
Berdasrkan neraca lingkungan
dilakukan perhitungan kebutuhan sumberdaya, persediaan sumberdaya, dan
kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan hidup setelah intervensi manusia
yang selanjutnya diterjemahkan dalam menetapkan lokasi pengembangan dan
intensitas kegiatan budidaya dalam rencana pola pemanfaatan ruang. Dalam
penyusunan neraca lingungan perlu diperhatikan prinsip bahwa pemanfaatan
sumberdaya alam tidak hanya untuk kepentingan saat ini, namun juga untuk
kepentingan generasi yang akan dating.
c. Perhatian terhadap daya dukung dan daya
tampung lingkungan
Perhatian teerhadap daya
dukung dan daya tampung lingkungan dimaksukan agar tidak terjadi perencanaan
yang melampaui batas daya dukung lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar terjadi
keseimbangan atara lingkungan dengan pembangunan wilayah.
d. Alokasi ruang yang sesuai antara jenis kegiatan dan karkteristik ruang
/lokasi
Penempatan suatu rencana
pembangunan suatu kawasan harus di sesuaika
dengan alokasi da kemampuan lingkunag yang ada. Alokasi tersebut harus
sesuai dengan keadaan lingkungan yang ada. Misalnya untuk awasan dengan
keiringana yang lebih dari 40% maka
disarankan untu tidak dikunakan sebagai awasan permukiman, kawasan ini sebainy
digunakan sebagai daerah terlindung.
e. Penyusunan rencana detail tataruang untuk operasionalisasi rencana
umum
Dalam rencana detail tata
ruang kawasan rawan rawa bencana longsor arahan pengembangan budidaya dibatasi
pada kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan. Selain itu,
rencana detail tata ruang juga mencakup arahan pembangunan insfrastruktur
seperti waduk, dab dindin penahan gerakan tanah.
f. Konsistensi antar-tingkatan rencana
g. Keterlibatan pemangku kepentingandalam penyusunan rencana tata ruang.
2. Pemanfataatan
Ruang
Pemanfaatan ruang adalah
upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya. Dengan asumsi bahwa perencanaan tata ruang telah meletakkan
landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, upaya-upaya yang
harus diterapkan pada tahap pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan bencana
longsor adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan kepatuhan terhadap rencana
tata ruang yang telah ditetapkan
Pada tahap ini pemangku
kepentingan dituntut untuk secara konsisten mengikuti ketentuan ketentuan yang
tertera dalam rencana tata ruang. Ketentuan itu berkenaandengan lokasi
kegiatan, besaran kegiatan, dan pola-pola pengelolaan kegiatan.
b. Penerapan pola pengelolaan kegiatan yang berwawasan lingkungan
Terkait dengan pola
pengelolaan, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah skala produksi
dan teknologi yang dipergunakan. Skala produksi kegiatan budidaya yang
ditetapkan di kawasan rawan bencana longsor harus sesuai dengan kemampuan
lingkungan dalam mentolerir dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya.
Sementara itu teknologi yang dipergunakan harus mampu melindungi masyarakat dan
lingkungan hidup dari ancaman bencana longsor.
c. Penerapan rekayasa perlindungan kawasan dari ancaman bencana longsor
Mengingat karakteristik
kawasannya, pada sebagian kawasan rawan bencana longsor memerlukan rekayasa
untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan dari ancaman bencana longsor.
d. Rehabilitasi lingkungan hidup
Rehabilitasi lingkungan
hidup adalah upaya untuk memperbaiki dan atau memanfaatkan kembali sumberdaya
alam yang telah mengalami kerusakan dan atau mengalami penurunan fungsi ekologis
akibat suatu kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan upaya untuk megarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang
dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan
penertiban terhadap pemanfaatan ruang.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan
yang harus dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang
dapat berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana,
permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam hal ini izin pemanfaatan ruang
hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Untuk mengamati dan memeriksa
kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang dilaksanakan secara
terus menerus dilakukan proses evaluasi.
Penertiban
dijalankan sebagai tindakan nyata dengan memberikan sanksi terhadap pelanggaran
rencana tata ruang yang terjadi. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang
yang direncanakan dapat terwujud. Pemberian sanksi tersebut dapat berupa
peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian sementara
pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, penolakan atau pembatalan
izin, pembongkaran bangunan, dan/atau pemulihan fungsi ruang, yang diberikan
berdasarkan bobot pelanggaran yang terjadi.
Dalam rangka pencegahan bencana
longsor, upaya-upaya yang harus mendapat perhatian dalam tahap pengendalian
pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:
a. Penetapan dan penerapan peraturan zona
(zoning regulation)
Untuk kawasan rawan bencana
longsor, peraturan zonasi hendaknya memuat berbagai ketentuan yang dimaksudkan
untuk mengurangi potensi kejadian longsor yang juga merupakan pedoman dalam
mewujudkan baku mutu lingkungan.
b. Penerbitan izin pemanfaatan ruang secara
selektif
Mekanisme perizinan pada
kawasan rawan bencana longsor harus dilaksanaan secara hati-hati. Sementara
itu, kegiatan yang dimungkinkan untuk dikembangkan pun harus dikelola dengan
pola pengelolaan yang tepat agar tidak meningkatkan potensi bencana longsor.
c. Pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten
terhadap pelanggaran pemanfaatan
ruang.
Agar ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan dapat diwujudkan, rencana tata ruang yang telah
disusun dengan visi lingkungan hidup harus diterapkan secara konsisten oleh
seluruh pemanfaat ruang. Namun pada kenyataannya, saat ini banyak terdapat
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan ketentuan
teknis lain yang dipersyaratkan. Banyaknya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang disebabkan antara lain oleh tidak tegas dan
konsistennya penerapan sanksi.
Untuk kawasan rawan bencana
longsor, ketidak-tegasan dan inkonsistensi pengenaan sanksi akan semakin
meningkatkan potensi kejadian bencana longsor. Oleh karena itu, pemerintah
selaku pihak yang berwenang untuk melakukan penertiban dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang harus dapat bersikap lebih tegas dan tidak
memberikan toleransi kepada pihak-pihak yang secara nyata telah melanggar
ketentuan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan.
d. Penerapan mekanisme insentif dan disinsentif
untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor
Mekanisme yang dipandang
sangat relevan untuk diterapkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap
kawasan rawan bencana longsor, misalnya:
- pembatasan pengembangan prasarana dan sarana umum di kawasan rawan bencana longsor;
- pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor;
- pengenaan kewajiban kepada pemanfaat ruang di kawasan rawan bencana longsor untuk terlebih dahulu meningkatkan kontrol terhadap faktor penyebab longsor (penghijauan, pembangunan retaining wall, dsb.) dalam cakupan yang lebih luas daripada lahan yang dikuasai;
- pemberian preferensi kepada pemanfaat ruang yang bersedia untuk membebaskan dan menghutankan lahan di kawasan rawan bencana longsor.
Dengan berbagai mekanisme insentif
dan disinsentif tersebut, diharapkan perlindungan terhadap kawasan rawan
bencana longsor dapat lebih ditingkatkan.
KESIMPULAN
Bencana tanah longsor merupakan
bencana alam yang sebagian besar faktor penyebabnya adalah dari ulah manusia.
Maka untuk menghindari atao meminimalkan bencana tersebut haruslah dibuat suatu
rancangan sistem pengendalian yang memuat tentang penetapan dan penerapan peraturan zona
(zoning regulation), penerbitan izin pemanfaatan ruang, sanksi tegas dan
konsisten terhadap pelanggaran pemanfaatan
ruang dan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk
meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar