Jumat, 25 Januari 2013

TANAH LONGSOR


            Kata kunci: Longsor, Lahan, kemiringan
               Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang sebagian besar kawasanya terdiri dari pulau-pulau yang berbukit-bulit dengan banyak gunung berapi. Sebagai dampak dari bentuk kepulauan yang berbukit-bukit ini adalah memiliki banyak kawasan yang rawan bencana longsor. Benyaknya penduduk indonesia yang tinggal di kawasan lindung, pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, dan kurangnya penyebarluasan informasi kepada masyarakat mengenai bencana longsor adalah bebrapa faktor penyeban timbulnya korban bencana longsor. Untuk mengatasi masalah tersebut btentunya harus diadakan perarturan mengenai kawasan permmukiman penduduk. Isi dari peraturan itu antara lain adalah larangan intuk menempati daerah dengan kemoringan >40%, larangan menempati kawasan yang bertanah labil, dan memwajibkan adanya ruang terbuka hujau sebesar 40% dan penghijauan dikawasan lindumg.


PENDAHULUAN
            Salah satu tujuan pembngunan adalah dicapai dan mewudkan ruangan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus menigkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatan. Keseluruhan ini diwujudkan guna membentuk suatu tatanan masyarakat yang baikdan selaras dengan lingkungan.
            Diatara berbagai permasalahan yang sering terjadi akibat kurang serasi dengan lingkungan adalah adanya bencana tanah longsor yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia. Bencana ini telah banyak menelan kerugian baik kerugian korban jiwa, harta, dan juga merusak sarana dan prasarana umum. Tingginya  frekuensi bencana longsor dan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari bencana tersebut telah menyadarkan kita semua akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan hidupnya. Upaya reposisi tersebut selanjutnya diletakkan pada suatu kerangka pikir  atau pendekatan yang memunginkan seluh fihak untuk saling bersinergi dalam merevitalisasi ruang kehidupan agar dapat mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Dardak, 2005).
           

PENYEBAB TIMBULNYA BENCANA LONGSOR DI INDONESIA
            Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari  berbagai keadaan alam dan berbagai permasalahan yang mendera di berbagai daerah. Salah satu bencana yang biasa melanda Indonesia ialah bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor biasa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu ialah:

1. Tingginya laju alih fungsi lahan berfungsi lindung
Kerusakan kawasan hutan lindung menyisakan kawasan-kawasan hutan yang secara fisik tidak lagi berwujud hutan, namun lebih sebagai lahan terlantar. Perubahan itu juga dibarengi dengan perubhan hutan pertanian menjadi kawasan permukiman, sehingga fenomena ini semakin berpotensi menimbulkan bencana. Tidak hanya longsor namun juga bisa meimbulkan banjir di musim penghujan dan juga kekeringan dimusim kemarau.
2.  Pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan
Pengembangan kawasan seharusnya dikembangkan sesuai dengan karakteristik yang ada di lapangan.  Kawasan yang berfungsi sebagai kawasan lindung seharusnya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai kawasan yang steril dari pemanfaaatan ruang. Pada kawasan lindung masih dimungkinkan dilakukan upaya pemanfaatan ruang, namun dengan kegiatan yang sesuai dengan karateristik lingkungan. Sebagi contoh kawasan dengan kemiringan diatas 40% masih dmunginkan untuk hutan pertanian, baik milik pemerintah ataupun rakyat. Pada kenyataanya di kawasan-kawasan seperti ini malah digunakan sebagai daerah pertanian holtikultura ataupun sebagai kawasan perumahan (Vila)
3. Pola pengelolaan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan
Selain jenis kegiatan yang harus sesuai dengan karakteristik wawasan, namun juga harus dibarengi dengan ppengelolaan kegiatan yang arus sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan agar potensi bencana dapat diminimalkan.
4. Kurangnya penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dibutuhkan data informasi yang berkaitan dengan geomorfologi dan hidrologidaerah tersebut, serta akibat yang mungkin timbul dari budaya yang ditimbulkan dari budidaya yang tidak berwawasan lingkungan yang dilakukan masyarakat. Data dan informasi tersebut umumnya di miliki oleh instansi-instasi pemerintah, lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada penelitian dan perumusan kebijakan. Sementara masyarakat sebagai pengelola lahan belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai bencana longsor yang mungkin melanda kawasanya. Agar informasi tersebut sampai secara efektif dalam menimbulkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat perlu diadakan perubahan metode penyampaian baik dengan bahsanya maupun dalam penerapanya.


KEBIJAKAN BIDANG PENATAAN RUANG DALAM MENANGANI KAWASAN RAWAN BENCANA  LONGSOR
            Penyusunan RTRW dipandang seagai langkah awal untuk menciptakan suatu kawasan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu di dalam setiap rencana penataan ruang harus selalu memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan.
            Selain berfungsi sebagai arahan lokasi insvestasi di wilayah, RTRWN juga berfunsi sebagai pedoman bagi pemerintah daerah untuk mengatur wilayahnya. Dengan demikian kebijakan dan strategi terkait degan pengelolaan kawasan rawan bencana longsor dan kawasan lindung yang tertulis dalam RTRWN juga berlaku dalam konteks penataan ruang daerah.
            Diantara berbagai jenis kawasan lindung juga terdapat kawasan rawan bencana geologi yang didalamnya termasuk kawasan rawan bencana longsor.Kawasan rawan bencana geologi tersebut ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut:
  1. kawasan yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi;
  2. kawasan rawan bencana gunung api;
  3. kawasan rawan bencana gempa bumi dengan skala MMI VII-XII;
  4. zona patahan aktif;
  5. kawasan yang berbakat atau pernah mengalami tsunami;
  6. kawasan yang berbakat atau pernah mengalami abrasi;
  7. kawasan yang berbakat atau pernah mengalami aliran lahar dan/atau
  8. kawasan yang berbakat atau pernah mengalami gas beracun.
            Prof. Dr. Azwar Maas mengemukakan bahwa kondisi dan situasi lahan yang berpotensi rawan longsor baik secara tunggal, kombinasi, maupun interaksi sebagai berikut:
  1. lahan kurang stabil dengan kemiringan lereng >40%;
  2. tingkat perkembangan tanah telah “lanjut”  biasanya berstruktur halus, berwarna kuning kemerahan, tebal >2m yang menopang diatas batuan induk ;
  3. tanah yang menompang di atas batuan yang permukaan batuanya berlereng atau batuan induk yang padat;
  4. tanah yang pernah mengalami longsor sebelumnya sehingga struktur dan agregasi tanah rusak;
  5. tanah tereksploitasi berlebihan;
  6. tanah tererosi secara berat sehingga telah lapisan atas atau lapisan yang kaya bahan organik karena tanah yang berada dibawah lapisan kaya bahan organik biasanya mudah terdispersi;
  7. pengalihan tataguna lahan, penjarahan hutan, pertanian intensif, tanpa penutup tanah karena setelah penjarahan hutan dapat terbentuknya ruang-ruang dalam tanah akibat pembusukan sistim perakaran pohon yang menampung air dan menyebabkan tanah dalam keadaan lewat jenuh;
  8. tanah yang berkembang di atas sedimen marine/claystone, yang mempunyai potensi kembang dan kerut
            Pada kawasan rawan bencana, pola pengelolaan kawasan dilakukan melalui pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan tangan manusia. Tujuan dari pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana longsor adalah mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan serta menghindari berbagai usaha dan atau kegiatan dikawasan rawan bencana.
            Selain kebijakan yang langsung terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana, juga harus dibuat kebijakan yang memuat mengenai pengelolaan kawasan lindung secara luas, yang mencegah upaya pencegahan bencana longsor. Kebijakan tersebut adalah memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan lingunga hidup yang dijabarkan ke dalam strategi berikut;
  1. mempertahankan luas kawasan yang berfungsi lindung dalam suatu pulau sekurang-kurangnya 30% dari luas pulau yan ada;
  2. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup melalui perlindungan kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara  secara serasi dan selaras;
  3. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan eosistem wilayah.


PENERAPAN KEBIJAKAN TATARUANG DALAM PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
            Untuk menangani kawasan yang bebas longsor kita tidak bisa hanya mengajukan suatu teori saja. Kita juga harus menerapkan berbagai kebijakan tersebut dengan metode-metodrnya. Metode penerapan kebijakan di kawasan rawan longsor tidak hanya dalam kebijakan satu tahap saja. Penerapanya dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkaan-tingkatan yang ada sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan Tata Ruang
        Rencana tata ruang berisi rencana struktur ruang dan rencana pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistim pusat-pusat permukiman, sistim jaringan transportasi, sistim telekomunikasi dan sistim-sistim yang lain. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang unruk berbagai kegiatan baik peruntukan untuk fungsi lindung maupun peruntukan fungsi budaya. Rencana tata ruang juga memiliki fungsi yang sangat fital dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu rencana tataruang juga harus memperhatikan aspek-aspek lingkuangan, aspek fisik, social, dan yang laiya. Terkait dengan upaya pencegahan longsor perencana tata ruang juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
     a.   Unit analisis mencakup satu kesatuan eco-region
        Pencapaian hasil pembangunan di wilayah perencanaan akn sangat dipengaruhi oleh kinerja pencapaian hasil pembangunan di wilayah lain yang memiliki keterkaitan. Sebaliknya inerja pembangunan di suatu wilayah aan mempengaruhi pola pembangunan di wlayah yang lainya pula. Pola hubungan antar wilayah tersebut tidak terbatas pada hasil-hasil pembangunan, tetapi juga pada dampak negatif yang ditimbulkan.
        Adanya hubungan saling mempengaruhi tersebut harus diakomodasi dalam penyusunan rencana tata ruang, yakni dengan memperbesar unit analisis yang tida terbatas pada wilayah perencanaan, tetapi mencakup wilayah di sekitarnya dalam satu eco-region. Dengan pendekatan ini, suatu kawasan dalam satu eco-region harus dipandang sebagai suatu sistim interaksi yang komplementer antar ekosistem, tatanan budaya, dan potensi SDA. Suatu wilaya ata kawasan tidak lagi dipandang dari aspek structural ruang danpola pemanfaatanya, melainkan keterkaitan manusia dan ruang dan sistim nilai penyangga kehidupan mereka.
     b.   Perhitungan neraca lingkungan sebagai dasar alokasi pemanfaatan sumberdaya
       Berdasrkan neraca lingkungan dilakukan perhitungan kebutuhan sumberdaya, persediaan sumberdaya, dan kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan hidup setelah intervensi manusia yang selanjutnya diterjemahkan dalam menetapkan lokasi pengembangan dan intensitas kegiatan budidaya dalam rencana pola pemanfaatan ruang. Dalam penyusunan neraca lingungan perlu diperhatikan prinsip bahwa pemanfaatan sumberdaya alam tidak hanya untuk kepentingan saat ini, namun juga untuk kepentingan generasi yang akan dating.
     c. Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan
       Perhatian teerhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dimaksukan agar tidak terjadi perencanaan yang melampaui batas daya dukung lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan atara lingkungan dengan pembangunan wilayah.
d. Alokasi ruang yang sesuai antara jenis kegiatan dan karkteristik ruang /lokasi
       Penempatan suatu rencana pembangunan suatu kawasan harus di sesuaika  dengan alokasi da kemampuan lingkunag yang ada. Alokasi tersebut harus sesuai dengan keadaan lingkungan yang ada. Misalnya untuk awasan dengan keiringana  yang lebih dari 40% maka disarankan untu tidak dikunakan sebagai awasan permukiman, kawasan ini sebainy digunakan sebagai daerah terlindung.
e. Penyusunan rencana detail tataruang untuk operasionalisasi rencana umum
       Dalam rencana detail tata ruang kawasan rawan rawa bencana longsor arahan pengembangan budidaya dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan. Selain itu, rencana detail tata ruang juga mencakup arahan pembangunan insfrastruktur seperti waduk, dab dindin penahan gerakan tanah.
f. Konsistensi antar-tingkatan rencana
g. Keterlibatan pemangku kepentingandalam penyusunan rencana tata ruang.
2. Pemanfataatan Ruang
        Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Dengan asumsi bahwa perencanaan tata ruang telah meletakkan landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, upaya-upaya yang harus diterapkan pada tahap pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan bencana longsor adalah sebagai berikut:
     a. Peningkatan kepatuhan terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan
        Pada tahap ini pemangku kepentingan dituntut untuk secara konsisten mengikuti ketentuan ketentuan yang tertera dalam rencana tata ruang. Ketentuan itu berkenaandengan lokasi kegiatan, besaran kegiatan, dan pola-pola pengelolaan kegiatan.
b. Penerapan pola pengelolaan kegiatan yang berwawasan lingkungan
        Terkait dengan pola pengelolaan, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah skala produksi dan teknologi yang dipergunakan. Skala produksi kegiatan budidaya yang ditetapkan di kawasan rawan bencana longsor harus sesuai dengan kemampuan lingkungan dalam mentolerir dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya. Sementara itu teknologi yang dipergunakan harus mampu melindungi masyarakat dan lingkungan hidup dari ancaman bencana longsor.
c. Penerapan rekayasa perlindungan kawasan dari ancaman bencana longsor
        Mengingat karakteristik kawasannya, pada sebagian kawasan rawan bencana longsor memerlukan rekayasa untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan dari ancaman bencana longsor.
       
d. Rehabilitasi lingkungan hidup
        Rehabilitasi lingkungan hidup adalah upaya untuk memperbaiki dan atau memanfaatkan kembali sumberdaya alam yang telah mengalami kerusakan dan atau mengalami penurunan fungsi ekologis akibat suatu kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan.
3.   Pengendalian Pemanfaatan Ruang
            Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk megarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.
            Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang harus dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam hal ini izin pemanfaatan ruang hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
            Untuk mengamati dan memeriksa kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang dilaksanakan secara terus menerus dilakukan proses evaluasi.
Penertiban dijalankan sebagai tindakan nyata dengan memberikan sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang terjadi. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Pemberian sanksi tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, penolakan atau pembatalan izin, pembongkaran bangunan, dan/atau pemulihan fungsi ruang, yang diberikan berdasarkan bobot pelanggaran yang terjadi.
            Dalam rangka pencegahan bencana longsor, upaya-upaya yang harus mendapat perhatian dalam tahap pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:
  a. Penetapan dan penerapan peraturan zona (zoning regulation)
      Untuk kawasan rawan bencana longsor, peraturan zonasi hendaknya memuat berbagai ketentuan yang dimaksudkan untuk mengurangi potensi kejadian longsor yang juga merupakan pedoman dalam mewujudkan baku mutu lingkungan.
   b. Penerbitan izin pemanfaatan ruang secara selektif
      Mekanisme perizinan pada kawasan rawan bencana longsor harus dilaksanaan secara hati-hati. Sementara itu, kegiatan yang dimungkinkan untuk dikembangkan pun harus dikelola dengan pola pengelolaan yang tepat agar tidak meningkatkan potensi bencana longsor.
c. Pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran pemanfaatan     ruang.
     Agar ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dapat diwujudkan, rencana tata ruang yang telah disusun dengan visi lingkungan hidup harus diterapkan secara konsisten oleh seluruh pemanfaat ruang. Namun pada kenyataannya, saat ini banyak terdapat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis lain yang dipersyaratkan. Banyaknya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang disebabkan antara lain oleh tidak tegas dan konsistennya penerapan sanksi.
     Untuk kawasan rawan bencana longsor, ketidak-tegasan dan inkonsistensi pengenaan sanksi akan semakin meningkatkan potensi kejadian bencana longsor. Oleh karena itu, pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk melakukan penertiban dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang harus dapat bersikap lebih tegas dan tidak memberikan toleransi kepada pihak-pihak yang secara nyata telah melanggar ketentuan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan.
d. Penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor
      Mekanisme yang dipandang sangat relevan untuk diterapkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor, misalnya:
  1. pembatasan pengembangan prasarana dan sarana umum di kawasan rawan bencana longsor;
  2. pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor;
  3. pengenaan kewajiban kepada pemanfaat ruang di kawasan rawan bencana longsor untuk terlebih dahulu meningkatkan kontrol terhadap faktor penyebab longsor (penghijauan, pembangunan retaining wall, dsb.) dalam cakupan yang lebih luas daripada lahan yang dikuasai;
  4. pemberian preferensi kepada pemanfaat ruang yang bersedia untuk membebaskan dan menghutankan lahan di kawasan rawan bencana longsor.
            Dengan berbagai mekanisme insentif dan disinsentif tersebut, diharapkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor dapat lebih ditingkatkan.


KESIMPULAN
            Bencana tanah longsor merupakan bencana alam yang sebagian besar faktor penyebabnya adalah dari ulah manusia. Maka untuk menghindari atao meminimalkan bencana tersebut haruslah dibuat suatu rancangan sistem pengendalian yang memuat tentang  penetapan dan penerapan peraturan zona (zoning regulation), penerbitan izin pemanfaatan ruang, sanksi tegas dan konsisten terhadap pelanggaran pemanfaatan     ruang dan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar