Minggu, 07 Juli 2013

"BELAJAR DARI AWAN"


"BELAJAR DARI AWAN"                                   
  
 
Hari itu satu pekan panjang yang penuh dengan kesibukan mengajar
keliling negeri telah kulewati sekali lagi. Seperti biasa aku ingin
menikmati situasi santai dalam penerbangan pulang, membaca yang
ringan-ringan, bahkan memejamkan mata beberapa menit bilamana sempat.
Kendatipun demikian, aku mencoba menerima apa pun yang akan terjadi.
 
Maka biasanya aku mengucapkan doa pendek berikut: Siapa pun yang
Kautakdirkan duduk di sebelahku, biarlah ia seperti apa adanya, dan
bantulah aku agar dapat menerima apa pun yang tersedia bagiku.
 
Pada hari yang khusus ini, ketika aku masuk ke dalam pesawat, ternyata
seorang anak kecil, sekitar delapan tahun, duduk pada kursi dekat
jendela di sebelahku. Aku menyukai anak-anak. Namun, aku sedang merasa
lelah. Naluri pertamaku adalah, 'Apa boleh buat, aku tak tahu nasibku
kali ini.' Dengan berusaha bersikap ramah, aku menyapanya dan
mengajaknya berkenalan. Ia menyebutkan namanya, Bradley. Kami langsung
mengobrol dan, hanya dalam beberapa menit, ia menaruh kepercayaan
kepadaku, dengan berkata, "Ini pertama kali saya naik pesawat. Saya agak
takut."
 
Ia bercerita kepadaku bahwa ia dan keluarganya baru menjenguk
sepupu-sepupunya, dan ia diminta tinggal lebih lama sedangkan
orangtuanya pulang terlebih dahulu. Kini ia pulang sendirian, dengan
pesawat terbang.
 
"Naik pesawat itu keciiil," kataku, berusaha menumbuhkan keyakinannya.
 
"Mungkin dapat dianggap salah satu yang paling mudah di antara yang
pernah kaulakukan." Aku diam sejenak, untuk berpikir, dan kemudian aku
bertanya kepadanya, "Pernahkah kau naik roller coaster?"
"Saya senang naik roller coaster!"
"Pernahkah kau menaikinya tanpa berpegangan?"
"Oh, ya. Saya seneng sekali." Ia tertawa. Sementara aku berpura-pura
ketakutan.
 
"Pernahkah kau naik di depan?" tanyaku lagi dengan wajah pura-pura
merasa ngeri.
"Ya. Saya selalu berusaha mendapatkan tempat duduk paling depan!"
 
"Dan kau tidak merasa takut?"
Ia menggelengkan kepalanya, tampaknya ia kini telah merasa berhasil
mengimbangi aku.
 
"Sesungguhnyalah, penerbangan ini tidak seberapa dibanding naik roller
coaster. 
Aku tidak berani naik roller coaster, tapi aku tidak takut sama sekali
bila naik pesawat terbang."
 
Seulas senyum mulai tampak pada wajahnya, "Betulkah itu?" Aku dapat
melihat bahwa ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang pemberani.
 
Pesawat mulai ditarik menuju ke ujung landasan. Dan ketika akhirnya
pesawat itu meluncur naik, ia memandang ke luar jendela dan mulai
bercerita dengan sangat bersemangat tentang segala yang dialaminya. Ia
mengomentari bentuk-bentuk awan yang dilihatnya, dan gambar-gambar yang
seolah-olah telah dilukis di angkasa. "Awan yang ini seperti kupu-kupu,
dan yang itu kelihatan seperti seekor kuda!"
 
Tiba-tiba, aku juga melihat melalui mata seorang anak usia delapan
tahun. Rasanya seolah-olah aku baru pertama kali itu terbang.
 
Belakangan Bradley bertanya tentang pekerjaanku. Aku bercerita tentang
pelatihan yang kuselenggarakan, dan mengatakan bahwa aku juga
membintangi iklan untuk radio dan televisi.
 
Matanya langsung bersinar. "Saya dan adik saya pernah menjadi bintang
iklan televisi."
 
"Oh, ya? Bagaimana rasanya?"
 
Ia bercerita bahwa pengalaman itu sangat mengesankan. 
 
Kemudian ia berkata bahwa ia perlu ke kamar kecil.
 
Aku berdiri agar ia dapat keluar ke gang. Saat itulah aku melihat alat
penguat pada kedua kakinya. Bradley beringsut-ingsut menuju ke kamar
kecil di belakang. 
 
Ketika ia duduk kembali, ia menerangkan, "Saya menderita distrofi otot.
Adik perempuan saya juga - ia bahkan harus memakai kursi roda. Itu
sebabnya kami menjadi bintang iklan. Kami dijadikan contoh untuk
anak-anak yang menderita distrofi otot."
 
Waktu pesawat mulai turun, ia memandang kepadaku, tersenyum, dan bicara
dengan nada yang agak-agak malu, "Tahukah Anda, saya betul-betul
khawatir tentang siapa yang akan duduk di sebelah saya di pesawat. Saya
takut ia orang yang ketus, yang tidak mau bicara dengan saya. Saya
senang bisa duduk bersebelahan dengan Anda."
 
Ketika mengenang seluruh pengalaman itu pada malam harinya, aku
diingatkan tentang untungnya bersikap terbuka. Setelah sepekan penuh
menjadi pengajar, begitu selesai aku justru menjadi siswa. 
 
Sekarang setiap kali aku merasa suntuk - dan itu cukup sering - aku
memandang ke luar jendela dan mencoba menebak bentuk awan yang terlukis
di angkasa.
Dan aku teringat dengan Bradley, anak istimewa yang mengajariku
pelajaran itu. 

BATU BESAR

BATU BESAR

Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata, "Okay, sekarang waktunya untuk quiz." Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember. Ia bertanya pada kelas, "Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?" Semua mahasiswa serentak berkata, "Ya!"

Dosen bertanya kembali, "Sungguhkah demikian?" Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-ker ikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas,
"Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?" Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, "Mungkin tidak."

"Bagus sekali," sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, "Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?" "Belum!" sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata, "Bagus. Bagus sekali." Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, "Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?"

Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, "Maksudnya  adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat  tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya."

"Oh, bukan," sahut dosen, "Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi  mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan "batu besar"  terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya."

Apa yang dimaksud dengan "batu besar" dalam hidup anda? Anak-anak anda;  Pasangan anda; Pendidikan anda; Hal-hal yang penting dalam hidup anda;  Mengajarkan sesuatu pada orang lain; Melakukan pekerjaan yang kau cintai;  Waktu untuk diri sendiri; Kesehatan anda; Teman anda; atau semua yang  berharga.

Ingatlah untuk selalu memasukkan "Batu Besar" pertama kali atau anda akan  kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan hal-hal kecil (semacam  kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang  merisaukan dan ini semestin ya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak  akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal  besar dan penting.

Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan cerita  pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri: "Apakah "Batu Besar" dalam  hidup saya?" Lalu kerjakan itu pertama kali."

ARTI MEMILIKI


Pacaran itu suatu hal yang mengesankan dan 'harus dipertahankan' jika memang
sudah sepadan. Seperti kata kata berikut: cinta tak pernah akan begitu
indah, jika tanpa persahabatan.. yang satu selalu menjadi penyebab yang lain
dan prosesnya.. adalah irreversible.

Seorang pecinta yang terbaik adalah sahabat yang terhebat. Jika engkau
mencintai seseorang, jangan berharap bahwa seseorang itu akan mencintaimu
persis sebaliknya dalam kapasitas yang sama. Satu diantara kalian akan
memberikan lebih, yang lain akan dirasa kurang. Begitu juga dalam cinta:
engkau yang mencari, dan yang lain akan menanti.

Jangan pernah takut untuk jatuh cinta.. mungkin akan begitu menyakitkan, dan
mungkin akan menyebabkan engkau sakit dan menderita.. tapi jika engkau tidak
mengikuti kata hati, pada akhirnya engkau akan menangis.. jauh lebih pedih..
karena saat itu menyadari bahwa engkau tidak pernah memberi.. cinta itu
sebuah jalan.

Cinta bukan sekedar perasaan, tapi sebuah komitmen. Perasaan bisa datang dan
pergi begitu saja. Cinta tak harus berakhir bahagia.. karena cinta tidak
harus berakhir.

Cinta sejati mendengar apa yang tidak dikatakan.. dan mengerti apa yang
tidak dijelaskan, sebab cinta tidak datang dari bibir dan lidah atau
pikiran.. melainkan dari HATI.

Ketika engkau mencintai, jangan mengharapkan apapun sebagai imbalan, karena
jika engkau demikian, engkau bukan mencintai, melainkan.. investasi.

Jika engkau mencintai, engkau harus siap untuk menerima penderitaan. Karena
jika engkau mengharap kebahagiaan, engkau bukan mencintai, melainkan..
memanfaatkan.

Lebih baik kehilangan harga diri dan egomu bersama seseorang yang engkau
cintai daripada kehilangan seseorang yang engkau cintai, karena egomu yang
tak berguna itu.

Jangan mencintai seseorang seperti bunga,karena bunga mati kala musim
berganti, cintailah mereka seperti samudra, sebab samudra mengalir
selamanya.

Cinta mungkin akan meninggalkan hatimu bagaikan kepingan-kepingan kaca, tapi
tancapkan dalam pikiranmu, bahwa ada seseorang yang akan bersedia untuk
menambal lukamu dengan mengumpulkan kembali pecahan-pecahan kaca itu.
Sehingga engkau akan menjadi utuh kembali.

CARA HALUS BILANG TIDAK


CARA HALUS BILANG TIDAK 
 
Bagi Mary Kay Ash, pengusaha di bisnis kosmetik, manajemen waktu sudah lama jadi perhatian utamanya. Ia sadar, telepon merupakan sarana penting untuk mencapai sukses. Sayang, juga memboroskan banyak waktu. Sebagai orang sibuk, tak jarang dering telepon dari teman bisa menjadi masalah.
Maka setiap kali teman menelepon dan bertanya, "Punya waktu sebentar?", jawaban Mary bukan "Maaf, saya sedang sibuk". Rupanya ia sudah mempunyai kiat tersendiri. Sengaja dibelinya bel pintu, yang dibunyikannya saat obrolan sudah melantur berlarut-larut. Kebetulan juga ia memelihara anjing yang menyalak setiap kali bel berdering. Maka ia lantas bisa berkata dengan enak, "Maaf, ada bel." Cara ini akan sukses mengakhiri obrolan tak menentu tanpa menimbulkan rasa sakit hati.

Umumnya kita memang sulit mengatakan "tidak". Seperti halnya Mary Kay Ash, kita tak ingin menyinggung perasaan atau mengecewakan orang lain. Sepanjang permintaan bicara itu penting, okelah. Tapi bila kita sedang tidak siap atau sedang tak berselera ngobrol, justru perasaan kita sendiri yang bisa tersiksa.

Sungguh keliru berkata "ya", kalau sesungguhnya kita ingin berkata "tidak". Demikian pendapat terapis Herbert Fensterheim, Ph.D., pengarang Don't Say Yes When You Want to Say No.

Bahkan ia yakin ketidaksanggupan berkata "tidak" bisa menimbulkan konsekuensi negatif. Pertama, kita akan terbawa dalam kegiatan yang kita sendiri tidak sreg untuk melakukannya. Membiarkan orang lain ngerecoki, bisa menciptakan kekesalan dalam diri. Kedua, menyebabkan kita kurang komunikatif dengan orang lain. Adakalanya secara tegas mengatakan "tidak" bisa berarti amat menghemat waktu, di samping memelihara ketenangan diri. Ternyata mengatakan "tidak" terhadap permintaan atau ajakan, asalkan dengan cara yang halus, dinilai cukup bijaksana. 

Berikut ini beberapa cara bijak untuk mengatakan "tidak":
1. Sertakan pujian saat berkata "tidak". Delores, guru besar Universitas East Coast di AS, punya jurus jitu menolak. Ia melunakkan penolakannya dengan pujian. Saat diminta menjadi dewan pengurus suatu organisasi, ia berkata, "Saya senang Anda memperhatikan saya. Saya memang penggemar berat organisasi Anda, sayang sekali jadwal saya tak memungkinkan menerima tawaran ini." Begitu pula kita. Saat diajak makan siang, kita bisa menjawab, "Saya senang diajak makan siang, tapi sayang banyak tugas yang tak bisa dielakkan." Atau, saat diundang ke pesta, kita berkata, "Sangat senang saya diundang ke rumah Anda. Bisa bertemu keluarga dan teman-teman Anda. Tapi maaf saya tidak dapat hadir saat ini."

2. Menolak secara tegas dan meyakinkan. "Saya hargai Anda telah mengantar koran setiap hari, tetapi kali ini saya terpaksa tidak membacanya." Ini contoh penolakan halus. Menyusun jawaban menolak secara meyakinkan memungkinkan kita tetap bisa menjaga hubungan/persabahatan, sekaligus menghindari rasa sakit hati. Jawaban tegas lain, "Tawarannya sangat bagus, tetapi maaf sekali kami tidak mungkin menerimanya saat ini." "Gagasan bagus (atau produk yang bagus), tapi belum kami perlukan saat ini."

3. Menawarkan kompromi. Karena tak mungkin menampung semua permintaan, perlu dipertimbangkan tanggapan secara tegas dan meyakinkan. Dalam buku Your Perfect Right: A Guide to Assertive Living , Robert E. Alberti, Ph. D., dan Michael L. Emmons, Ph. D., memberikan contoh ini, "Ibu mertua menelepon untuk mengabarkan rencananya mengunjungi Anda selama tiga minggu."
Pengarang buku itu mencatat tiga kemungkinan jawaban Anda:
a. Anda berpikir, "Aduh, celaka!", tapi berkata, "Kami senang Ibu akan berkunjung. Tinggallah selama Ibu suka."
b. Anda pura-pura berterus terang dengan mengatakan bahwa anak-anak sedang pilek, atau Anda pas ke luar kota saat dia berkunjungan.
c. Anda dapat menolak, tetapi dengan nada kompromistis, "Kami senang Ibu akan datang, tapi kalau tidak terlalu lama, barangkali akan lebih menyenangkan. Kita malah akan lebih cepat ingin bertemu lagi. Masalahnya, anak-anak banyak kegiatan sekolah, atau, kami banyak kegiatan lingkungan yang menyita waktu sepulang bekerja."

4. Berlatih layaknya tokoh masyarakat. Mereka umumnya berlatih agar mampu menyampaikan tanggapan dengan percaya diri dan meyakinkan saat berhadapan dengan wartawan. Prinsip yang sama juga berlaku bagi Anda untuk menyatakan "tidak". Praktikkan dan berlatihlah di dalam hati atau langsung di hadapan anggota keluarga atau teman.

5. Minta waktu. Dengan maksud menolak, kita bisa menjawab, "Coba saya pikirkan dulu"; "Bagaimana kalau saya membicarakannya dengan suami/istri, keluarga, dsb.?"; "Saya akan periksa agenda dulu"; "Sekarang saya sungguh belum ada waktu. Bagaimana kalau saya minta waktu 1 - 2 hari lagi untuk menanggapi?"
Siasat itu memberikan tiga keuntungan. Pertama, kita punya waktu untuk membuat alasan yang bisa diterima. Kedua, masih ada kesempatan bagi kita untuk mempertimbangkan lagi permintaan itu. Ketiga, kita membuat senang orang lain dengan sikap seolah-olah menerima permintaan itu secara serius.

6. Jawaban singkat dan to the point. Bulatkan pikiran dan katakan secara terus terang penolakan itu. Contoh, "Maaf, saya tak bisa duduk dalam kepengurusan yayasan ini." Singkat dan to the point. Penjelasan panjang lebar, kenapa tidak dapat atau tidak setuju, justru memungkinkan orang mengejar alasan-alasan kita. Sebuah contoh dialami Louise. Ia pernah gagal menolak, karena menyampaikan banyak alasan kenapa tak mau duduk dalam kepengurusan yayasan penyelenggara pendidikan pra-sekolah, tempat anaknya (4 tahun) menjalani pendidikan.

"Saya menjelaskan bahwa pengurus rapat setiap minggu dan saya tak punya waktu senggang. Saya juga tidak mempunyai sarana trasportasi malam hari. Saya malah tersudut ketika mereka menanggapi, 'Anda tidak harus datang setiap minggu, cukup dua minggu sekali. Jangan cemas soal angkutan, akan ada anggota pengurus yang menjemput.'" Jadi, jawaban terbaik adalah singkat dan sederhana, "Maaf, tidak, saya tidak dapat duduk dalam kepengurusan yayasan!"

7. Katakan "tidak". Cara terbaik untuk menolak adalah dengan berkata "tidak". Jangan takut berkata "tidak". Jika kita menyanggupi semua permintaan orang lain, dari duduk dalam kepengurusan atau kepanitiaan, menghadiri makan siang dan makan malam, dst. jelas kita tidak akan punya waktu untuk mengerjakan hal lain. Ikut berperan serta itu baik, sepanjang ada waktu. Bagaimana mungkin kita dapat mengelola waktu, jika waktu itu sudah kita berikan kepada setiap orang?

Begitu kita terbiasa berkata "tidak", kita pun akan merasakan keuntungannya. Harga diri semakin kuat, rasa gelisah dan depresi berkurang, dan kita pun semakin profesional.

Cermin yang Terlupakan



Cermin yang Terlupakan


Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith,
mengadakan 'garage sale' untuk menjual barang-barang bekas yang tidak
mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan  anak-anak
mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri.


Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang
tidak dibutuhkan  lagi.

Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan
benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu  di
antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah
pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.

Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah
digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak
buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah
mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya,
cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok  di
loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang
memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka
mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang  lain
untuk dijual keesokan hari.

Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah  mereka
penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang  mereka
jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah  tangga,
buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua  yang
sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.

Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.

"Berapa harga cermin itu?"  katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai
tadi. Mrs. Smith tercengang.

"Wah,  saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda
sungguh  ingin membelinya?" katanya.

"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus."  jawab pria itu. Mrs. Smith
tidak tahu berapa harga yang pantas untuk  cermin jelek itu. Meskipun sangat
mulus, namun baginya cermin itu  tetaplah jelek dan tidak berharga.

Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith  berkata, "Hmm .... anda bisa membeli
cermin itu untuk satu dolar."

Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik
selembar uang  satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.

"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda.
Apakah perlu dibungkus?"

"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang."  jawab
si pembeli.

Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya
dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas
pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan  lapisan
pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya.

Bingkai cermin  itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru
aqua yang  selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung
bingkai itu!

"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan
gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah  itu
dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih
pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.

Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang  kita
merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita
melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun
pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi  bekerja, pulang
sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.

Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis
dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan
tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna
emas yang indah.

Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat  memperkaya
hidup kita.

Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur  hidup
kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali  dalam hidup
kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita.

Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas?

Akankah kita  membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak
seperti yang  kita inginkan?

Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith
menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita  menyadari
keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.


Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup  hanyalah
rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas  tersebut dan
menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.

Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru,  belajar
lebih banyak, mengenal orang lebih baik.

Mari kita melakukan sesuatu  yang baru.

Mari kita membuat perbedaan!