"BELAJAR DARI AWAN"
Hari itu satu pekan panjang yang penuh dengan kesibukan mengajar
keliling negeri telah kulewati sekali lagi. Seperti biasa aku ingin
menikmati situasi santai dalam penerbangan pulang, membaca yang
ringan-ringan, bahkan memejamkan mata beberapa menit bilamana sempat.
Kendatipun demikian, aku mencoba menerima apa pun yang akan terjadi.
Maka biasanya aku mengucapkan doa pendek berikut: Siapa pun yang
Kautakdirkan duduk di sebelahku, biarlah ia seperti apa adanya, dan
bantulah aku agar dapat menerima apa pun yang tersedia bagiku.
Pada hari yang khusus ini, ketika aku masuk ke dalam pesawat, ternyata
seorang anak kecil, sekitar delapan tahun, duduk pada kursi dekat
jendela di sebelahku. Aku menyukai anak-anak. Namun, aku sedang merasa
lelah. Naluri pertamaku adalah, 'Apa boleh buat, aku tak tahu nasibku
kali ini.' Dengan berusaha bersikap ramah, aku menyapanya dan
mengajaknya berkenalan. Ia menyebutkan namanya, Bradley. Kami langsung
mengobrol dan, hanya dalam beberapa menit, ia menaruh kepercayaan
kepadaku, dengan berkata, "Ini pertama kali saya naik pesawat. Saya agak
takut."
Ia bercerita kepadaku bahwa ia dan keluarganya baru menjenguk
sepupu-sepupunya, dan ia diminta tinggal lebih lama sedangkan
orangtuanya pulang terlebih dahulu. Kini ia pulang sendirian, dengan
pesawat terbang.
"Naik pesawat itu keciiil," kataku, berusaha menumbuhkan keyakinannya.
"Mungkin dapat dianggap salah satu yang paling mudah di antara yang
pernah kaulakukan." Aku diam sejenak, untuk berpikir, dan kemudian aku
bertanya kepadanya, "Pernahkah kau naik roller coaster?"
"Saya senang naik roller coaster!"
"Pernahkah kau menaikinya tanpa berpegangan?"
"Oh, ya. Saya seneng sekali." Ia tertawa. Sementara aku berpura-pura
ketakutan.
"Pernahkah kau naik di depan?" tanyaku lagi dengan wajah pura-pura
merasa ngeri.
"Ya. Saya selalu berusaha mendapatkan tempat duduk paling depan!"
"Dan kau tidak merasa takut?"
Ia menggelengkan kepalanya, tampaknya ia kini telah merasa berhasil
mengimbangi aku.
"Sesungguhnyalah, penerbangan ini tidak seberapa dibanding naik roller
coaster.
Aku tidak berani naik roller coaster, tapi aku tidak takut sama sekali
bila naik pesawat terbang."
Seulas senyum mulai tampak pada wajahnya, "Betulkah itu?" Aku dapat
melihat bahwa ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang pemberani.
Pesawat mulai ditarik menuju ke ujung landasan. Dan ketika akhirnya
pesawat itu meluncur naik, ia memandang ke luar jendela dan mulai
bercerita dengan sangat bersemangat tentang segala yang dialaminya. Ia
mengomentari bentuk-bentuk awan yang dilihatnya, dan gambar-gambar yang
seolah-olah telah dilukis di angkasa. "Awan yang ini seperti kupu-kupu,
dan yang itu kelihatan seperti seekor kuda!"
Tiba-tiba, aku juga melihat melalui mata seorang anak usia delapan
tahun. Rasanya seolah-olah aku baru pertama kali itu terbang.
Belakangan Bradley bertanya tentang pekerjaanku. Aku bercerita tentang
pelatihan yang kuselenggarakan, dan mengatakan bahwa aku juga
membintangi iklan untuk radio dan televisi.
Matanya langsung bersinar. "Saya dan adik saya pernah menjadi bintang
iklan televisi."
"Oh, ya? Bagaimana rasanya?"
Ia bercerita bahwa pengalaman itu sangat mengesankan.
Kemudian ia berkata bahwa ia perlu ke kamar kecil.
Aku berdiri agar ia dapat keluar ke gang. Saat itulah aku melihat alat
penguat pada kedua kakinya. Bradley beringsut-ingsut menuju ke kamar
kecil di belakang.
Ketika ia duduk kembali, ia menerangkan, "Saya menderita distrofi otot.
Adik perempuan saya juga - ia bahkan harus memakai kursi roda. Itu
sebabnya kami menjadi bintang iklan. Kami dijadikan contoh untuk
anak-anak yang menderita distrofi otot."
Waktu pesawat mulai turun, ia memandang kepadaku, tersenyum, dan bicara
dengan nada yang agak-agak malu, "Tahukah Anda, saya betul-betul
khawatir tentang siapa yang akan duduk di sebelah saya di pesawat. Saya
takut ia orang yang ketus, yang tidak mau bicara dengan saya. Saya
senang bisa duduk bersebelahan dengan Anda."
Ketika mengenang seluruh pengalaman itu pada malam harinya, aku
diingatkan tentang untungnya bersikap terbuka. Setelah sepekan penuh
menjadi pengajar, begitu selesai aku justru menjadi siswa.
Sekarang setiap kali aku merasa suntuk - dan itu cukup sering - aku
memandang ke luar jendela dan mencoba menebak bentuk awan yang terlukis
di angkasa.
Dan aku teringat dengan Bradley, anak istimewa yang mengajariku
pelajaran itu.