UNDANG-UNDANG RI NO.7 TAHUN 1996
Undang-undang ini mengamanatkan peraturan pengemasan berkaitan dengan keamanan pangan dalam rangka
melindungi konsumen. Pada bagian ke IV pasal 16 - 19 dari undang-undang ini membahas
tentang kemasan bahan pangan, sedangkan bagian ke V pasal 30-35 membahas tentang pelabelan dan periklanan
produk pangan. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Bagian Keempat
Kemasan Pangan
Pasal 16
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apa pun
sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepaskan cemaran yang
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
(2) Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang
dapat menghindarkan
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.
(3) Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai
kemasan pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan.
Pasal 17
Bahan yang akan digunakan sebagai kemasan pangan, tetapi belum
diketahui dampaknya
bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya bagi pangan yang
diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam
jumlah kecil untuk
diperdagangkan lebih lanjut.
Pasal 19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18
ditetapkan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
C. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999
TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN
Peraturan ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan label dan
iklan produk
pangan, yaitu informasi-informasi produk yang harus ditulis pada label, yang tidak boleh dilakukan dalam
pembuatan label hingga cara pembuatan label pada kemasan pangan. Informasi tentang
produk yang harus dicantumkan, secara lengkap terdapat pada peraturan ini,
termasuk juga cara mengiklankan produk. Apabila suau perusahaan yang memproduksi bahan pangan menyalahi aturan dalam peraturan ini, maka dapat
dikenakan sanksi administratif, berupa :
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah
untuk
menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta
rupiah), dan atau;
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
D. PERATURAN KEMASAN KAYU
Khusus untuk kemasan kayu yang akan digunakan untuk ekspor, maka pemerintah Indonesia melalui
Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan, yaitu peraturan Menteri perdagangan RI
Nomor 02/m-dag/per/2/2006 tentang Ketentuan ekspor produk industri kehutanan
E. PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG KEMASAN
Saat ini persyaratan khusus dalam pengemasan produk pangan selalu
mengacu pada
peraturan internasional seperti FDA (USA), Uni Eropah, Jepang dan Malaysia, sedangkan Indonesia sendiri belum
mengatur secara rinci bahan-bahan kemasan yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan untuk mengemas produk pangan. Di Amerika Serikat pemakaian
plastik untuk kemasan pangan diarahkan oleh FDA. Setiap industri harus
memberikan informasi kepada FDA tentang jenis plastik dan aditif yang digunakan untuk
mengemas makanan tertentu, meliputi komposisi, pelabelan, kondisi pemakaian, data
peracunan sisa monomer dan aditif, cara analisis. FDA sendiri juga memberikan
petunjuk dan informasi perihal persyaratan-persyaratan terhadap komposisi plastik,
penggunaan, data peracunan dan migrasi dari berbagai jenis polimer serta jenis aditif
maupun aditif khusus yang ditambahkan untuk mewadahi makanan jenis tertentu.
Masyarakat Ekonomi Eropa juga menekankan sifat-sifat intrinsik sisa
monomer dan aditif
ini terutama pada daya peracunannya. British Plastics Federation menerbitkan hasil riset yang menyangkut
keamanan kemasan palstik dalam industri pangan. Sifat peracunan bahan aditif dikaji oleh
British Industrial Biological Research Association. FDA Jerman Barat dan Belanda juga
mengeluarkan hasil penelitian mengenai sifat-sifat intrinsik monomer dan adiif
plastik. Perancis
mensyaratkan bahwa plastik mesti inert dalam pengertian tidak merusak cita rasa makanan dan
tidak beracun. Italia memberi batas maksimum nigrasi tidak boleh boleh lebih dari 50
ppm untuk kemasan makanan berukuran 250 ml ke atas, sedangkan untuk kemasan kecil
batas maksimumnya 8 mg per dm2 lembaran film.
Syarat lain harus tidak ada komponen kemasan yang membahayakan
kesehatan, plastik harus diuji migrasinya dengan cara yang sudah ditentukan, pewarna
tidak boleh termigrasi ke
dalam makanan, Pb 0.01 %, As 0.005%, Hg 0.005%, Cd 0.2%, Se 0.01%, amin primer 0.05% dan Ba 0.01%. Belanda memberikan toleransi
maksimum 60 ppm migran ke dalam makanan atau 0.12 mg per cm2 permukaan plastik. Jerman Barat 0.06 mg per cm2
permukaan plastik. Bahan berbahaya setingkat vinil
klorida tidak boleh lebih dari 0.05 ppm, sedangkan di Swedia hanya boleh 0.01 ppm. Di Swiss sejak tahun 1969,
pabrik kemasan
plastik dan pengguna harus memberikan data entang kemasan, migrasi, potensi keracunan dan kondisi
pemakaian. Jepang
mensyaratkan migrasi maksimum 30 ppm untuk aditif dan monomer yang tidak berbahaya, sedangkan
untuk vinil klorida dan monomer/aditif lain yang peracunannya tinggi hanya 0.05 ppm
atau kurang. Peraturan lain yang digunakan untuk pengemasan bahan pangan adalah peraturan yang dibuat oleh CODEX
Alimentarius Commission (CAC), yaitu suatu badan di bawah naungan Food and
Agricultural Organization (FAO) dan World Healtd Organization (WHO) yang bertugas menangani
standard bahan pangan. Standar yang dikeluarkan CAC ini digunakan sebagai acuan oleh World Trade
Organization (WTO) dalam pelaksanaan persetujuan Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS)
dan Technical Barrier to Trade (TBT).
Standarisasi kemasan produk pangan di Indonesia,
sudah harus dimulai dari sekarang,
agar produk-produk pangan kita dapat bersaing di pasar global. Untuk itu maka di Indonesia diperlukan adanya undang-undang
khusus tentang kemasan pangan yang mengatur tentang jenis kemasan dan
bahan yang dapat dikemas dengan jenis
kemasan tersebut. Adanya undang-undang ini akan menajdi pegangan bagi konsumen, juga bagi produsen sehingga diharapkan tidak
ada lagi persaingan yang tidak
sehat di antara sesama industri kemasan baik persaingan harga maupun kualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar